STUDI HADIST: Pendidikan Tanpa Kekerasan

0

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Tak seorang pun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Tetapi masih sering kita jumpai perilaku kekerasan seperti pemukulan oleh  guru kepada anak didiknya, dan tidak hanya guru yang melakukan tindak kekerasan, tetapi akhir-akhir ini para pelajar dan mahasiswa juga kian banyak yang tertangkap aparat karena terlibat narkoba, pencurian dan kriminal lainnya, peristiwa tawuran antar pelajar kerap terjadi, aksi demontrasi  marak terjadi yang kadang kala disertai dengan tindak kekerasan.
Apapun bentuknya, kekerasan dalam pendidikan harus dicegah. Sebagaimana kekerasan bisa timbul karena ada ada kondisi yang mempengaruhi, maka untuk menghentikan kekerasan pun dengan cara meminimalisir akar persoalan pemicunya. Untuk mencegah kekerasan tersebut, norma agama, budaya dan nilai-nilai kemanusiaan perlu ditanamkan dalam diri seseorang melalui pendidikan nilai yang humanis.
Norma agama Islam amat berarti dalam memberikan kesadaran pemeluknya akan pentingnya perilaku kasih sayang, pemaaf,saling menolong, mengutamakan perdamaian bukan kekerasan, menghormati hak orang lain, tidak mencela atau menghina, atau bahkan saling membunuh. Disamping itu, budaya nasional, seperti toleransi, dan musyawarah juga perlu ditanamkan dalam pendidikan nilai di lingkungan sekolah.
Akan tetapi penerapan pendidikan agama Islam dan budaya nasional banyak menemui kendala, dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari faktor internal maupun eksternal, yang pada akhirnya kurang efektifnya pendidikan,khususnya pendidikan agama Islam dalam membendung maraknya kekerasan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pendidikan tanpa kekerasan?
2.      Bagaimana Penjelasan Hadist pendidikan tanpa kekeresan ?
3.      Bagaimana Syarah Hadist?
4.      Bagaimana Tahrij hadits pendidikan tanpa kekerasan?
5.      Bagaimana Kualitas hadits pendidikan tanpa kekerasan?
6.      Bagaimana Matan hadits pendidikan tanpa kekerasan?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui pendidikan tanpa kekerasan
2.      Untuk mengetahui penjelasan hadist pendidikan tanpa kekeresan
3.      Untuk mengetahui Syarah Hadist
4.      Untuk mengetahui kritik dan syarah hadits pendidikan tanpa kekerasan
5.      Untuk mengetahui Kualitas hadits pendidikan tanpa kekerasan
6.      Untuk mengetahui Matan hadits pendidikan tanpa kekerasan




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Tanpa Kekeresan
Kekerasan, menurut kamus besar bahasa Indonesia, berarti berciri keras terhadap perbuatan seorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain dan bias terjadi dengan paksaan.[1] Jadi, kekerasan merupakan bentuk perilaku salah terhadap fisik atau psikis yang dapat berpengaruh tidak baik.
Dalam hal ini, kekerasan dalam pendidikan dapat diartikan sebagai kekerasan fisikmaupun psikis yang terjadi di pendidikan. Adanya tindakan kekerasan dalam pendidikan disebabkan banyak faktor, secara garis besar, ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor  internal pendidikan, kondisi internal pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada perilaku pelajar dan para pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Menurut Merton, pendidikan yang salah akan “mempengaruhi” guru dan dan anak didik kepada perilaku preman. Betapapun masih dijumpai hal-hal demikian  dan perlu pula dilihat upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memebenahi kondisi pendidikan nasional, dengan mengucurkan dana yang cukup besar untuk pembangunan sektor pendidikan.[2]
Kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang menjadi faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan. Kondisi eksternal ini terutama tampak dalam kehidupan social dan budaya masyarakat,di mana perilaku pendidikan ada didalamnya. Masalah narkoba, tayangan kekerasan di TV dan media massa, pornografi dan pornoaksi, miras, pergaulan bebas, serta tindak criminal merupakan masalah-masalah sosio-kultural yang bisa melibatkan pelaku yang terkait simbol pendidikan.[3]
Perkembangan teknologi dan informasi dan elektronika telah merubah pola komunikasi dan interksi sosial. Hadirnya teknologi menjadikan proses pendidikan jauh lebih menyenangkan. Namun bila diukur dari kacamata agama, moral atau budaya, cenderung merusak.
Faktor sosial-budaya lainnya adalah masalah pergaulan. Pergaulan bebas merupakan masalah sosial yang tentu akan merambah dunia pendidikan pula, terutama bagi pelajar atau mahasiswa. Jika seseorang menjadi preman, hal itu tentu bukan karena turunan orang tua, melainkan karena hasil dari pergaulan.
Pengaruh globalisasi dan modernisasi, merupakan sebuah babakan baru dalam proses perkembangan bangsa. Pertanyaannya kemudian , sejauh mana kesiapan bangsa ini dalam memasuki era baru itu. Apakah secara psikologis anak-anak bangsa ini telah benar-benar dipersiapkan untuk menyongsong datangnya zaman industrialisasi dan revolusiinformasi dengan segala konsekwensinya.[4]
Banyak sekali terjadi di sekolah-sekolah kekerasan pada siswa dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan, pelecehan seksual dan pembujukan persetubuhan.[5]
Maka, seharusnya hal demikian itu tidak boleh terjadi, mari kita contoh Rasulullah SAW di dalam umatnya. Proses pendidikan harus disampaikan dengan mencontoh perilaku dan tata cara para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW ketika mendidik umatnya , ini berlaku pada semua jenjang pendidikan dan pada kelompok ilmu manapun,baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu modern.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, kekerasan akan dapat dihindari apabila semua pihak terkait di dalam dunia pendidikan dapat memahami, mendidik anak bukan lewat kekerasan tetapi lewat kasih sayang, dan perhatian untuk menimbulkan suasana nyaman dalam proses pendidikan, dengan dudukung dari sfat dan sikap anak yang patuh dengan aturan.

B.     Hadist Yang Mengkaji Tentang Pendidikan Tanpa Kekerasan
Ibn Khaldun (1332 1406 M), misalnya, dalam magnum opusnya, Muqaddimah, menuliskan tentang kekerasan kepada murid dapat membahayakan. Ia mengkritik ulama sezamannya yang mendidik muridnya secara sikap kasar dan keras. Menurutnya, siapa saja yang mendidik dengan kekerasan dan paksaan, justru makin mendorong anak untuk melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kata hatinya karena takut oleh tangan paksa sang pendidik.
Lantas bagaimana penjelasan tentang pendidikan tanpa kekerasan jika dikaitkan dengan hadis nabi tentang pendidikan yang jika dipahami secara tekstual menimbulkan persepsi diharuskannya kekerasan dalam pendidikan. H.R. Tirmidzi, Abu Daud dan Ad-Darimi.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى يَعْنِي ابْنَ الطَّبَّاعِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
Artinya: “Diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Isa, diriwayatkan Ibrahim Ibnu sa’ad dari Abdul Malik bin ar Rabi’ ibnu Sabrah dari Bapaknya dan dari Kakeknya berkata, Bersabda Nabi Muhammad SAW: “Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”

C.    SYARAH HADIST
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan wadhribuu (dan pukulah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadis tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadis tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggung jawab orang tua.
Kata wadhribuuu (dan pukullah) tidak harus dipahami memukul fisik si anak secara kasar dan keras lalu menyakitinya. Akan tetapi kata memukul bisa dipahami dengan memberikan sesuatu yang berbekas kepada anak sehingga ia berubah dari tidak shalat menjadi shalat, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Misalnya, dengan memberikan nasehat yang tulus secara khusus. Atau memberikan sesatu yang mengejutkan mentalnya sebagai sockterapy tetapi dengan sikap penuh kasih sayang. Seorang ibu, misalnya, menesehati anaknya dengan linangan air mata dan mengajaknya berdialog dari hati ke hati. Hal itu bisa membuat hati si anak berbekas sehingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya.
Sedangkan menurut penulis titik tekan murru (perintahkanlah) adalah perintah untuk mendidik, sedangkan pada kata wadhribuu (dan pukullah) penekanannya adalah sebuah bentuk hukuman dalam proses pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pada masa sekarang ini pemukulan sebagai sebuah bentuk hukuman ini masih relevan dan efektif digunakan dalam mendidik anak? Tentu saja karakter anak-anak pada masa Nabi Muhammad hidup dengan anak-anak sekarang berbeda, sehingga menurut penulis hukuman dengan memukul ini sudah tidak relevan dan efektif lagi. Hal tersebut dikarenakan anak pada masa sekarang ketika berumur 10 tahun sudah bisa berpikir logis atau nalar.
Walaupun demikian, hukuman dalam proses pendidikan harus tetap ada dan hukuman yang diberikan bukan berupa pemukulan tetapi harus hukuman yang bernuansa educatif.[6]

D.    TAHRIJ HADIST
1.      Sanad
Adapun analisa sanad hadis-hadis tersebut adalah dilihat dari ketersambungan (ittishal) sanad, ke’adilan dan kedhabitan perawi serta metode periwayatannya. Analisa sanad hadis riwayat Abu Daud ini adalah sebagai berikut:
1.      Abu Daud
2.      Muhammad bin Isa
3.      Ibrahim bin Sa’ad
4.      Abdul Malik bin ar Rabi’
5.      Ar Rabi’ bin Sabrah
6.      Sabrah bin Ma’bad
2.      Biografi
Abu Daud
Beliau adalah Sulaiman bin Asy’as bin Syaddad bin Amru bin ‘Amir, Ibnu Dassah menyebutkan namanya Sulaiman bin Al Asy’as bin Basyir bin Saddad Abu Daud as Sijistani al Hafiz, seorang imam, syekh dan hafiz terkenal.dia adalah Abu Daud al Azdi ahli hadis dari Basrah. Beliau lahir pada tahun 202 H dan wafat pada pertengahan bulan Syawal tahun 275 H.
Guru-gurunya: Abu Slamah, Abi al Walid, Muhammad bin Kasir, Sulaiman bin Harbi, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Slamah bin Raja’, Hasan bin Rabi’, Ahmad bin Yunus, Abi Tabah ar Rabi’, Ahmad bin Abi Syu’aib, Hisyam bin Imran, Ishaq bin Rawahaih, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Salih, Ali bin al Madani, Hakim bin Musa, Khalaf bin Hisyam, Mu’ammal bin Hisyam, Said bin Mansur, Abdul bin Whhab, Amru bin ‘Aun, Sulaiman bin Daud, Muhammad bin Isa, Abdul Wahhab bin Najdah, Mu’az bin Asad, Yahya bin Ma’in dan ulama Iraq, Mesir, Khurasan, Syam, Hijaz, Kufah, Damaskus dan Baghdad.
Adapun murid-muridnya adalah : Abu Isa, Nasa’I, Ibrahim, Ibn Hamdan, Ahmad bin Ibrahim, Abu Hamid, Ahmad bin Ja’far, Abu Bakar an Najdi, Abu al Arabi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad, Ishaq bin Musa, ar Ramli, Ismail bin Muhammad, Harb bin Ismail, dan lain-lain.
Kritik ulama hadis terhadap dirinya:
1.      Abu Bakar al Khilal : “Abu Daud seorang imam terkemuka di zamannya.
2.      Ahmad bin Muhammad bin Yasin al Harawi : “beliau adalah salah seorang huffaz Islam untuk hadis Rasul, menguasai ilmu hadis dan sanadnya “.
3.      Muhammad bin Makhlad : “Abu Daud meriwayatkan seratus ribu hadis dan apa yang ia susun di dalam Sunannya dan menjadi rujukan umat serta kitabnya menjadi menjadi pedoman ahli hadis”.
4.      Musa bin Harun : “Abu daud diciptakan di dunia untuk hadis dan di akhirat untuk surga”.
5.      Abu Hatim ibn Hibban : “Ia adalah seorang imam dunia yang faqih, ilmuwan, hafiz, wara’, nusuk, dan mutqin”.
6.      Al Hakim : “Abu Daud ahlul hadis di zamannya”.
7.      Al Hafiz Zakariya Syaji : “Kitabullah adalah Islam sedangkan kitab Abu DAud adalah janji Islam”.
Dari pendapat-pendapat ulama hadis diatas, dapat disimpulkan bahwa Abu Daud adalah perawi yang siqah, dan lafaz periwayatan hadis antara guru dan murid yaitu  Muhammad bin Isa dan Abu Daud menggunakan sigah haddatsana. Dengan begitu, sanad antara Abu Daud dan Muhammad bin Isa adalah muttashil.

Muhammad bin Isa
Beliau adalah Muhammad bin Isa bin Najih al Bagdadi Abu Safar ibn at Taba’. Beliau lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 224 H.Beliau meriwayatkan hadis dari : Malik, Hammad bin Zaid, Ibn Zibbi, Abdul Wahab bin Sa’id, Abdullah bin Ja’far, ‘Utbah bin Abdul Wahid, Hisyam, Mu’tamir bin Sulaiman, Hasan bin Ibrahim, Ibrahim bin Sa’ad, Ismail bin ‘Ulaiyah, Ismail bin ‘Iyas, Ibn al Mubarak, dan lain-lain.
Kemudian beliau meriwayatkan hadis kepada : al Bukhari, Abu Daud, at Turmuzi, An Nasa’i, Ibn Majah, Abdullah bin Abdurrahman ad Darimi, Muhammad bin Yahya, Ahmad al Azhar, Muhammad bin Amir, ‘Amru bin Mansur, dan lain-lain.
Kritik ulama terhadap beliau:
1.      Al Bukhari : “Aku mendengar Ali berkata, ketika Yahya bin Abdurrahman bertanya kepada Muhammad bin Isa dari hadis Hisyam dan aku tidak melihat ada orang lain yang lebih tahu daripadanya”.
2.      Abi Hatim : “Kami berguru kepada Muhammad bin Isa ibn at Taba’ al Faqih al Makmun aku tidak melihat ada ahli hadis yang lebih hafal darinya”.
3.      Abi Daud : “Aku mendengar Muhammad bin Bakr berkata bahwa Muhammad bin Isa lebih mulia daripada Ibn Ishaq”.
4.      An Nasai : “Beliau adalah siqah“.
5.      Ibn Hibban : “Beliau siqah, dan beliau lebih mengetahui hadis-hadis Hasyim”.
6.      Al Asram : “Ibn Taba’ adalah siqah”.Lafaz periwayatan yang beliau gunakan adalah sigah haddatsana dan antara beliau dengan Ibrahim bin Sa’ad pernah terjadi pertemuan antara guru dan murid. Dengan begitu sanad antara Muhammad bin Isa dan Ibrahim bin Sa’ad adalah muttashil.

Ibrahim bin Sa’ad
Beliau adalah Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf az Zuhri Abu Ishaq al Madani. Beliau lahir pada tahun 108 H dan wafat pada tahun 183 H.
Guru-guru beliau adalah ayahnya, yakni Sa’ad bin Ibrahim, Salih bin Kisani, Az Zuhri, Hisyam bin ‘Ummah, Sofwan bin Alim, Abdullah bin Rabi’, Muhammad bin Ishaq, Syu’bah, Yazid bin al Hadi.Adapaun murid-muridnya adalah : al Lais, Qois bin Robi’, Abu Daud, Abu al Wahid at Talisiyani, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ya’qub, Sa’ad dan lain-lain.
Komentar para ulama hadis terhadap beliau:
1.    Ahmad berkata : “Hadis-hadisnya lurus dan ia adalah siqah”.
2.    Ibn Abi Maryam : “Siqah hujjah Ibrahim lebih kokoh dari Walid Ibn Katsir dan dari Ibn Ishaq”.
3.    Ibn Mu’in : “Siqah”.
4.    Al ‘Ajali berkata : ” Tidak ada cacat baginya”.
5.    Bukhari berkata : “Aku mempunyai hadis dari Ibrahim bin Hamzah, sedangkan dari Ibrahim bin Sa’ad dari Ibn Ishaq sekitar 17.000 hadis di bidang hukum sama dengan dimiliki al Maghas dan Ibrahim bin Sa’ad adalah ulama Madinah yang paling banyak meriwayatkan hadis di zamannya.
6.    Ibn Khawasy : “saduq”.
7.    Ibn ‘Adi : “Ibrahim termasuk ulama yang siqah yang diriwayatkan darinya oleh para ulama”.
Ibrahim bin Sa’ad meriwayatkan hadis dari Abdul Malik bin Rabi’ dengan menggunakan sigah ‘an. Sedangkan pertalian sanad antara Ibrahim bin Sa’ad dan Abdul Malik bin Rabi’ adalah pertalian guru dan murid sehingga memungkinkan mereka untuk bertemu. Dengan demikian sanad antara keduanya adalah muttashil.

Abdul Malik bin ar Rabi’
Beliau adalah Abdullah bin ar Rabi’ bin Sabrah bin Mu’bad  al Juhany. Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri yaitu ar Rabi’ bin Sabrah. Kemudian beliau meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada : Sabrah bin Abdul Aziz, Harmalah bin Abdul Aziz, Ibrahim bin Sa’ad, Zaid bin al Hibban, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad al Waqidi.
Kritik para ulama hadis terhadap beliau:
1.      Ibnu Hajar al ‘Asqalani : “Al Azali menyatakan beliau siqah”.
2.      Abu Khusaimah : “Yahya bin Mu’in ditanya tentang hadis Abdul Malik bin ar Rabi’ dari ayahnya dari kakeknya, maka ia berkata bahwa mereka lemah hafalannya”.
3.      Ibnu al Jauzi menceritakan dari Ibnu Mu’in bahwa : “Abdul Malik lemah hafalannya”.
4.      Al Hasan bin al Qattan : “Keadilannya kuerang kokoh sekalipun diriwayatkan dari Muslim”.
Walaupun banyak ulama yang mencela, tetapi jarh yang ditujukan kepadanya tidak memberikan alasan yang menjelaskan secara detail letak ketercelaannya. Dengan demikian beliau adalah perawi yang siqah dan beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya yang juga sekaligus sebagai gurunya. Dengan demikian sanadnya adalah muttashil.

Ar Rabi’ bin Sabrah
Beliau adalah ar Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad, beliau juga disebut Ibnu ‘Ausajah al Juhany al Madani. Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya sabrah bin Ma’bad, Umar bin Abdul Aziz, Amin bin Murrah al Juhany, Yahya bin Sa’id bin al ‘As. Kemudian diriwayatkan darinya oleh :Abdul Malik dan Abdul Aziz bin ar Rabi’ (anak-anaknya), “Umarah bin Gazyah, Umarah bin Abdul Aziz, Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, az Zuhri, Yazid bin Abi Habib, Ibrahim bin Sa’ad, “Amru bin Haris, al Lais dan lain-lain.
Kritik para ulama hadis terhadap beliau:
1.      Al ‘Ijli : “Beliau adalah siqah”.
2.      An Nasai : “Siqah”
3.      Ibnu Hibban : “Siqah”
Beliau meriwayatkan hadis dari Sabrah bin Ma’bad dengan menggunakan sigah ‘an. Hubungan mereka adalah ayah dan anak sekaligus guru dan murid sehingga sanadnya adalah muttashil.

Sabrah bin Ma’bad
Beliau adalah Sabrah bin Mu’bad bin ‘Ausajah, beliau disebut juga Sabrah bin Ausajah al Juhany Abu Sariyah dan juga disebutkannya dengan Abu Baljah dan Abu ar Rabi’ al Madani. Beliau wafat pada masa khalifah Mu’awiyah. Beliau meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah saw dan ‘Amru bin Murrah al Juhany. Kemudian beliau meriwayatkan kepada anaknya sendiri yaitu ar Rabi’ bin Sabrah.
Karena beliau termasuk golongan sahabat, maka tidak diragukan lagi ke siqahan dan keadilannya dan dilihat dari pertemuan beliau dengan Rasulullah, maka sanadnya adalah muttashil.

E.     KUALITAS HADIST
Melihat kenyataan bahwa seluruh perawi dalam mata rantai sanad ini tidak ada yang di jarh pada tingkat yang dapat melemahkan periwayatan mereka, bahkan penggunaan sigah tahammul wal ada’ yang tergolong pada metode sama’ dan sanadnya muttashil, maka jelas bahwa sanad hadis ini adalah shahih.[7]

F.     MATAN HADIST
Adapun matan hadist yang terkait adalah sebagai berikut:
1.      Matan hadist ini sejalan dengan ketegasan Al Qur’an dalam perintah sholat:  
Artinya:Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un: 107: 4-5)
2.      Matan hadis ini bertentangan dengan hadis riwayat Hakim dan Baihaqi:
 “Tiada suatu permberian pun yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik”
Pada hal tertentu misalnya sholat, hadist tersebut masuk akal karena tegas katannya dengan perintah Allah SWT dalam mendirikan sholat.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kekerasan tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa, dihilangkan dengan kekerasan, kejahatan harus dilawan dengan kebaikan. Kekerasan terjadi dimana-mana, baik yang dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa, tak terkecuali dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sangatlah penting, terutama pendidikan Islam. Peran dari pendidikan itu sendiri adalah untuk menjadikan seseorang menjadi lebih baik dalam bidang keilmuan maupun akhlak. Tindakan kekerasan memang tidak dapat dihilangkan seratus persen, akan tetapi pendidikan Islam tanpa kekerasan memberikan konsep dan solusi untuk meminimalisir tindakan kekerasan.
Sebagai seorang muslim tentu sudah sepatutnya kita memahami dan mengamalkan isi dari al-Qur’an dan Hadis, dan senantiasa berusaha sekuat tenaga mengikuti tingkah laku Nabi Muhammad SAW.




DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan Nasional, Departemen. 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Assegaf, Abdurrahman. 2004, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta
Mahfud, Choirul. 2006, Pendidikan Multikultural, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Saraswati, Rika. 2009, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti






[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) hal 550
[2] Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan (Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta, 2004), hal 14
[3] Ibid. hal.22
[4] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.), hal. 108
[5] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, ( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009) hal. 142
[6] Kajian tematis hadis tentang bersikap, http://novanardy.blogspot.co.id/2010/01/kajian-tematis-hadis-tentang-bersikap.html, diakses pada tgl 20 Desember 2017
[7] Kekerasan Dalam Pendidikan, http://dieyahya.blogspot.co.id/2017/03/kritik-dan-syarah-hadits-kekerasan.html. diakses pada tanggal 18 Desember 2017, pukul 23:32 WIB.

Author Image

About wayan
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment