BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tak seorang pun
menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang
sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Tetapi masih sering kita
jumpai perilaku kekerasan seperti pemukulan oleh guru kepada anak didiknya, dan tidak hanya
guru yang melakukan tindak kekerasan, tetapi akhir-akhir ini para pelajar dan
mahasiswa juga kian banyak yang tertangkap aparat karena terlibat narkoba,
pencurian dan kriminal lainnya, peristiwa tawuran antar pelajar kerap terjadi,
aksi demontrasi marak terjadi yang
kadang kala disertai dengan tindak kekerasan.
Apapun
bentuknya, kekerasan dalam pendidikan harus dicegah. Sebagaimana kekerasan bisa
timbul karena ada ada kondisi yang mempengaruhi, maka untuk menghentikan
kekerasan pun dengan cara meminimalisir akar persoalan pemicunya. Untuk
mencegah kekerasan tersebut, norma agama, budaya dan nilai-nilai kemanusiaan
perlu ditanamkan dalam diri seseorang melalui pendidikan nilai yang humanis.
Norma agama
Islam amat berarti dalam memberikan kesadaran pemeluknya akan pentingnya
perilaku kasih sayang, pemaaf,saling menolong, mengutamakan perdamaian bukan
kekerasan, menghormati hak orang lain, tidak mencela atau menghina, atau bahkan
saling membunuh. Disamping itu, budaya nasional, seperti toleransi, dan
musyawarah juga perlu ditanamkan dalam pendidikan nilai di lingkungan sekolah.
Akan tetapi
penerapan pendidikan agama Islam dan budaya nasional banyak menemui kendala,
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari faktor internal maupun
eksternal, yang pada akhirnya kurang efektifnya pendidikan,khususnya pendidikan
agama Islam dalam membendung maraknya kekerasan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pendidikan
tanpa kekerasan?
2.
Bagaimana Penjelasan Hadist pendidikan tanpa kekeresan ?
3.
Bagaimana Syarah Hadist?
4.
Bagaimana Tahrij hadits pendidikan tanpa kekerasan?
5. Bagaimana Kualitas
hadits pendidikan tanpa kekerasan?
6. Bagaimana Matan
hadits pendidikan tanpa kekerasan?
C. TUJUAN MASALAH
1.
Untuk mengetahui pendidikan tanpa kekerasan
2.
Untuk mengetahui penjelasan hadist pendidikan tanpa kekeresan
3.
Untuk mengetahui Syarah Hadist
4.
Untuk mengetahui kritik dan syarah hadits pendidikan tanpa
kekerasan
5.
Untuk mengetahui Kualitas hadits pendidikan tanpa kekerasan
6. Untuk
mengetahui Matan hadits pendidikan tanpa kekerasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Tanpa Kekeresan
Kekerasan,
menurut kamus besar bahasa Indonesia, berarti berciri keras terhadap perbuatan
seorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain dan bias terjadi dengan
paksaan.[1] Jadi,
kekerasan merupakan bentuk perilaku salah terhadap fisik atau psikis yang dapat
berpengaruh tidak baik.
Dalam hal ini,
kekerasan dalam pendidikan dapat diartikan sebagai kekerasan fisikmaupun psikis
yang terjadi di pendidikan. Adanya tindakan kekerasan dalam pendidikan
disebabkan banyak faktor, secara garis besar, ada dua faktor yang mempengaruhi,
yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal pendidikan, kondisi internal
pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada perilaku pelajar dan
para pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Menurut Merton, pendidikan yang
salah akan “mempengaruhi” guru dan dan anak didik kepada perilaku preman. Betapapun
masih dijumpai hal-hal demikian dan perlu
pula dilihat upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memebenahi kondisi
pendidikan nasional, dengan mengucurkan dana yang cukup besar untuk pembangunan
sektor pendidikan.[2]
Kondisi
eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang menjadi faktor tidak langsung bagi
timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan. Kondisi eksternal ini terutama
tampak dalam kehidupan social dan budaya masyarakat,di mana perilaku pendidikan
ada didalamnya. Masalah narkoba, tayangan kekerasan di TV dan media massa,
pornografi dan pornoaksi, miras, pergaulan bebas, serta tindak criminal
merupakan masalah-masalah sosio-kultural yang bisa melibatkan pelaku yang
terkait simbol pendidikan.[3]
Perkembangan
teknologi dan informasi dan elektronika telah merubah pola komunikasi dan
interksi sosial. Hadirnya teknologi menjadikan proses pendidikan jauh lebih
menyenangkan. Namun bila diukur dari kacamata agama, moral atau budaya,
cenderung merusak.
Faktor
sosial-budaya lainnya adalah masalah pergaulan. Pergaulan bebas merupakan
masalah sosial yang tentu akan merambah dunia pendidikan pula, terutama bagi
pelajar atau mahasiswa. Jika seseorang menjadi preman, hal itu tentu bukan
karena turunan orang tua, melainkan karena hasil dari pergaulan.
Pengaruh
globalisasi dan modernisasi, merupakan sebuah babakan baru dalam proses
perkembangan bangsa. Pertanyaannya kemudian , sejauh mana kesiapan bangsa ini
dalam memasuki era baru itu. Apakah secara psikologis anak-anak bangsa ini
telah benar-benar dipersiapkan untuk menyongsong datangnya zaman
industrialisasi dan revolusiinformasi dengan segala konsekwensinya.[4]
Banyak sekali
terjadi di sekolah-sekolah kekerasan pada siswa dengan dalih mendisiplinkan
siswa dan tidak jarang budaya dijadikan alasan membungkus kekerasan terhadap
anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan kepala sekolah, guru,
Pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan tangan kosong, atau benda
tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, mencekik, menyundut
rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki
di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan,
pelecehan seksual dan pembujukan persetubuhan.[5]
Maka, seharusnya
hal demikian itu tidak boleh terjadi, mari kita contoh Rasulullah SAW di dalam
umatnya. Proses pendidikan harus disampaikan dengan mencontoh perilaku dan tata
cara para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW ketika mendidik umatnya , ini
berlaku pada semua jenjang pendidikan dan pada kelompok ilmu manapun,baik
ilmu-ilmu agama maupun ilmu modern.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa, kekerasan akan dapat dihindari apabila semua pihak terkait
di dalam dunia pendidikan dapat memahami, mendidik anak bukan lewat kekerasan
tetapi lewat kasih sayang, dan perhatian untuk menimbulkan suasana nyaman dalam
proses pendidikan, dengan dudukung dari sfat dan sikap anak yang patuh dengan
aturan.
B. Hadist Yang
Mengkaji Tentang Pendidikan Tanpa Kekerasan
Ibn Khaldun
(1332 1406 M), misalnya, dalam magnum opusnya, Muqaddimah, menuliskan tentang
kekerasan kepada murid dapat membahayakan. Ia mengkritik ulama sezamannya yang
mendidik muridnya secara sikap kasar dan keras. Menurutnya, siapa saja yang
mendidik dengan kekerasan dan paksaan, justru makin mendorong anak untuk
melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kata hatinya karena takut oleh
tangan paksa sang pendidik.
Lantas bagaimana
penjelasan tentang pendidikan tanpa kekerasan jika dikaitkan dengan hadis nabi
tentang pendidikan yang jika dipahami secara tekstual menimbulkan persepsi
diharuskannya kekerasan dalam pendidikan. H.R. Tirmidzi, Abu Daud dan Ad-Darimi.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى يَعْنِي ابْنَ
الطَّبَّاعِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ
الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ
سَبْعَ سِنِينَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
Artinya: “Diriwayatkan
oleh Muhammad Ibnu Isa, diriwayatkan Ibrahim Ibnu sa’ad dari Abdul Malik bin ar
Rabi’ ibnu Sabrah dari Bapaknya dan dari Kakeknya berkata, Bersabda Nabi
Muhammad SAW: “Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh
tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh
tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
C. SYARAH HADIST
Dalam hadis ini
Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10
tahun dan wadhribuu (dan pukulah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum
seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan
dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses
pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan
pemberian motivasi dan ancaman.
Titik tekan
dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadis tersebut adalah pada sisi
mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan
oleh Islam. Dengan kata lain, hadis tersebut mengandung pengertian betapa
pentingnya mendidik anak sebagai tanggung jawab orang tua.
Kata wadhribuuu
(dan pukullah) tidak harus dipahami memukul fisik si anak secara kasar dan
keras lalu menyakitinya. Akan tetapi kata memukul bisa dipahami dengan
memberikan sesuatu yang berbekas kepada anak sehingga ia berubah dari tidak
shalat menjadi shalat, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Misalnya, dengan
memberikan nasehat yang tulus secara khusus. Atau memberikan sesatu yang
mengejutkan mentalnya sebagai sockterapy tetapi dengan sikap penuh kasih
sayang. Seorang ibu, misalnya, menesehati anaknya dengan linangan air mata dan
mengajaknya berdialog dari hati ke hati. Hal itu bisa membuat hati si anak
berbekas sehingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya.
Sedangkan
menurut penulis titik tekan murru (perintahkanlah) adalah perintah untuk
mendidik, sedangkan pada kata wadhribuu (dan pukullah) penekanannya adalah
sebuah bentuk hukuman dalam proses pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah
apakah pada masa sekarang ini pemukulan sebagai sebuah bentuk hukuman ini masih
relevan dan efektif digunakan dalam mendidik anak? Tentu saja karakter
anak-anak pada masa Nabi Muhammad hidup dengan anak-anak sekarang berbeda,
sehingga menurut penulis hukuman dengan memukul ini sudah tidak relevan dan
efektif lagi. Hal tersebut dikarenakan anak pada masa sekarang ketika berumur
10 tahun sudah bisa berpikir logis atau nalar.
Walaupun
demikian, hukuman dalam proses pendidikan harus tetap ada dan hukuman yang
diberikan bukan berupa pemukulan tetapi harus hukuman yang bernuansa educatif.[6]
D. TAHRIJ HADIST
1.
Sanad
Adapun analisa
sanad hadis-hadis tersebut adalah dilihat dari ketersambungan (ittishal) sanad,
ke’adilan dan kedhabitan perawi serta metode periwayatannya. Analisa sanad
hadis riwayat Abu Daud ini adalah sebagai berikut:
1.
Abu Daud
2. Muhammad bin
Isa
3. Ibrahim bin
Sa’ad
4. Abdul Malik bin
ar Rabi’
5. Ar Rabi’ bin
Sabrah
6. Sabrah bin
Ma’bad
2.
Biografi
Abu Daud
Beliau adalah
Sulaiman bin Asy’as bin Syaddad bin Amru bin ‘Amir, Ibnu Dassah menyebutkan
namanya Sulaiman bin Al Asy’as bin Basyir bin Saddad Abu Daud as Sijistani al
Hafiz, seorang imam, syekh dan hafiz terkenal.dia adalah Abu Daud al Azdi ahli
hadis dari Basrah. Beliau lahir pada tahun 202 H dan wafat pada pertengahan
bulan Syawal tahun 275 H.
Guru-gurunya:
Abu Slamah, Abi al Walid, Muhammad bin Kasir, Sulaiman bin Harbi, Muslim bin
Ibrahim, Abdullah bin Slamah bin Raja’, Hasan bin Rabi’, Ahmad bin Yunus, Abi
Tabah ar Rabi’, Ahmad bin Abi Syu’aib, Hisyam bin Imran, Ishaq bin Rawahaih,
Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Salih, Ali bin al Madani, Hakim bin Musa, Khalaf
bin Hisyam, Mu’ammal bin Hisyam, Said bin Mansur, Abdul bin Whhab, Amru bin
‘Aun, Sulaiman bin Daud, Muhammad bin Isa, Abdul Wahhab bin Najdah, Mu’az bin
Asad, Yahya bin Ma’in dan ulama Iraq, Mesir, Khurasan, Syam, Hijaz, Kufah,
Damaskus dan Baghdad.
Adapun
murid-muridnya adalah : Abu Isa, Nasa’I, Ibrahim, Ibn Hamdan, Ahmad bin
Ibrahim, Abu Hamid, Ahmad bin Ja’far, Abu Bakar an Najdi, Abu al Arabi, Abu
Bakar Ahmad bin Muhammad, Ishaq bin Musa, ar Ramli, Ismail bin Muhammad, Harb
bin Ismail, dan lain-lain.
Kritik ulama hadis terhadap dirinya:
1. Abu Bakar al
Khilal : “Abu Daud seorang imam terkemuka di zamannya.
2.
Ahmad bin Muhammad bin Yasin al Harawi : “beliau adalah salah
seorang huffaz Islam untuk hadis Rasul, menguasai ilmu hadis dan sanadnya “.
3.
Muhammad bin Makhlad : “Abu Daud meriwayatkan seratus ribu hadis
dan apa yang ia susun di dalam Sunannya dan menjadi rujukan umat serta kitabnya
menjadi menjadi pedoman ahli hadis”.
4.
Musa bin Harun : “Abu daud diciptakan di dunia untuk hadis dan di
akhirat untuk surga”.
5.
Abu Hatim ibn Hibban : “Ia adalah seorang imam dunia yang faqih,
ilmuwan, hafiz, wara’, nusuk, dan mutqin”.
6.
Al Hakim : “Abu Daud ahlul hadis di zamannya”.
7. Al Hafiz
Zakariya Syaji : “Kitabullah adalah Islam sedangkan kitab Abu DAud adalah janji
Islam”.
Dari
pendapat-pendapat ulama hadis diatas, dapat disimpulkan bahwa Abu Daud adalah
perawi yang siqah, dan lafaz periwayatan hadis antara guru dan murid
yaitu Muhammad bin Isa dan Abu Daud
menggunakan sigah haddatsana. Dengan begitu, sanad antara Abu Daud dan Muhammad
bin Isa adalah muttashil.
Muhammad bin Isa
Beliau adalah
Muhammad bin Isa bin Najih al Bagdadi Abu Safar ibn at Taba’. Beliau lahir pada
tahun 150 H dan wafat pada tahun 224 H.Beliau meriwayatkan hadis dari : Malik,
Hammad bin Zaid, Ibn Zibbi, Abdul Wahab bin Sa’id, Abdullah bin Ja’far, ‘Utbah
bin Abdul Wahid, Hisyam, Mu’tamir bin Sulaiman, Hasan bin Ibrahim, Ibrahim bin
Sa’ad, Ismail bin ‘Ulaiyah, Ismail bin ‘Iyas, Ibn al Mubarak, dan lain-lain.
Kemudian beliau
meriwayatkan hadis kepada : al Bukhari, Abu Daud, at Turmuzi, An Nasa’i, Ibn
Majah, Abdullah bin Abdurrahman ad Darimi, Muhammad bin Yahya, Ahmad al Azhar,
Muhammad bin Amir, ‘Amru bin Mansur, dan lain-lain.
Kritik ulama terhadap beliau:
1.
Al Bukhari : “Aku mendengar Ali berkata, ketika Yahya bin
Abdurrahman bertanya kepada Muhammad bin Isa dari hadis Hisyam dan aku tidak
melihat ada orang lain yang lebih tahu daripadanya”.
2. Abi Hatim :
“Kami berguru kepada Muhammad bin Isa ibn at Taba’ al Faqih al Makmun aku tidak
melihat ada ahli hadis yang lebih hafal darinya”.
3. Abi Daud : “Aku
mendengar Muhammad bin Bakr berkata bahwa Muhammad bin Isa lebih mulia daripada
Ibn Ishaq”.
4. An Nasai :
“Beliau adalah siqah“.
5. Ibn Hibban :
“Beliau siqah, dan beliau lebih mengetahui hadis-hadis Hasyim”.
6.
Al Asram : “Ibn Taba’ adalah siqah”.Lafaz periwayatan yang beliau
gunakan adalah sigah haddatsana dan antara beliau dengan Ibrahim bin Sa’ad
pernah terjadi pertemuan antara guru dan murid. Dengan begitu sanad antara
Muhammad bin Isa dan Ibrahim bin Sa’ad adalah muttashil.
Ibrahim bin Sa’ad
Beliau adalah
Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf az Zuhri Abu Ishaq al
Madani. Beliau lahir pada tahun 108 H dan wafat pada tahun 183 H.
Guru-guru
beliau adalah ayahnya, yakni Sa’ad bin Ibrahim, Salih bin Kisani, Az Zuhri,
Hisyam bin ‘Ummah, Sofwan bin Alim, Abdullah bin Rabi’, Muhammad bin Ishaq,
Syu’bah, Yazid bin al Hadi.Adapaun murid-muridnya adalah : al Lais, Qois bin
Robi’, Abu Daud, Abu al Wahid at Talisiyani, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ya’qub,
Sa’ad dan lain-lain.
Komentar para ulama hadis terhadap beliau:
1.
Ahmad berkata : “Hadis-hadisnya lurus dan ia adalah siqah”.
2.
Ibn Abi Maryam : “Siqah hujjah Ibrahim lebih kokoh dari Walid Ibn
Katsir dan dari Ibn Ishaq”.
3.
Ibn Mu’in : “Siqah”.
4.
Al ‘Ajali berkata : ” Tidak ada cacat baginya”.
5.
Bukhari berkata : “Aku mempunyai hadis dari Ibrahim bin Hamzah,
sedangkan dari Ibrahim bin Sa’ad dari Ibn Ishaq sekitar 17.000 hadis di bidang
hukum sama dengan dimiliki al Maghas dan Ibrahim bin Sa’ad adalah ulama Madinah
yang paling banyak meriwayatkan hadis di zamannya.
6.
Ibn Khawasy : “saduq”.
7.
Ibn ‘Adi : “Ibrahim termasuk ulama yang siqah yang diriwayatkan
darinya oleh para ulama”.
Ibrahim bin
Sa’ad meriwayatkan hadis dari Abdul Malik bin Rabi’ dengan menggunakan sigah
‘an. Sedangkan pertalian sanad antara Ibrahim bin Sa’ad dan Abdul Malik bin
Rabi’ adalah pertalian guru dan murid sehingga memungkinkan mereka untuk
bertemu. Dengan demikian sanad antara keduanya adalah muttashil.
Abdul Malik bin ar Rabi’
Beliau adalah
Abdullah bin ar Rabi’ bin Sabrah bin Mu’bad
al Juhany. Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri yaitu ar Rabi’
bin Sabrah. Kemudian beliau meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada : Sabrah
bin Abdul Aziz, Harmalah bin Abdul Aziz, Ibrahim bin Sa’ad, Zaid bin al Hibban,
Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad al Waqidi.
Kritik para ulama hadis terhadap beliau:
1.
Ibnu Hajar al ‘Asqalani : “Al Azali menyatakan beliau siqah”.
2. Abu Khusaimah :
“Yahya bin Mu’in ditanya tentang hadis Abdul Malik bin ar Rabi’ dari ayahnya
dari kakeknya, maka ia berkata bahwa mereka lemah hafalannya”.
3. Ibnu al Jauzi
menceritakan dari Ibnu Mu’in bahwa : “Abdul Malik lemah hafalannya”.
4.
Al Hasan bin al Qattan : “Keadilannya kuerang kokoh sekalipun
diriwayatkan dari Muslim”.
Walaupun banyak
ulama yang mencela, tetapi jarh yang ditujukan kepadanya tidak memberikan
alasan yang menjelaskan secara detail letak ketercelaannya. Dengan demikian
beliau adalah perawi yang siqah dan beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya yang
juga sekaligus sebagai gurunya. Dengan demikian sanadnya adalah muttashil.
Ar Rabi’ bin Sabrah
Beliau adalah
ar Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad, beliau juga disebut Ibnu ‘Ausajah al Juhany al
Madani. Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya sabrah bin Ma’bad, Umar bin
Abdul Aziz, Amin bin Murrah al Juhany, Yahya bin Sa’id bin al ‘As. Kemudian
diriwayatkan darinya oleh :Abdul Malik dan Abdul Aziz bin ar Rabi’
(anak-anaknya), “Umarah bin Gazyah, Umarah bin Abdul Aziz, Abdul Aziz bin Umar
bin Abdul Aziz, az Zuhri, Yazid bin Abi Habib, Ibrahim bin Sa’ad, “Amru bin
Haris, al Lais dan lain-lain.
Kritik para ulama hadis terhadap beliau:
1. Al ‘Ijli :
“Beliau adalah siqah”.
2.
An Nasai : “Siqah”
3. Ibnu Hibban :
“Siqah”
Beliau
meriwayatkan hadis dari Sabrah bin Ma’bad dengan menggunakan sigah ‘an.
Hubungan mereka adalah ayah dan anak sekaligus guru dan murid sehingga sanadnya
adalah muttashil.
Sabrah bin Ma’bad
Beliau adalah
Sabrah bin Mu’bad bin ‘Ausajah, beliau disebut juga Sabrah bin Ausajah al
Juhany Abu Sariyah dan juga disebutkannya dengan Abu Baljah dan Abu ar Rabi’ al
Madani. Beliau wafat pada masa khalifah Mu’awiyah. Beliau meriwayatkan hadis
langsung dari Rasulullah saw dan ‘Amru bin Murrah al Juhany. Kemudian beliau
meriwayatkan kepada anaknya sendiri yaitu ar Rabi’ bin Sabrah.
Karena beliau
termasuk golongan sahabat, maka tidak diragukan lagi ke siqahan dan keadilannya
dan dilihat dari pertemuan beliau dengan Rasulullah, maka sanadnya adalah
muttashil.
E. KUALITAS HADIST
Melihat
kenyataan bahwa seluruh perawi dalam mata rantai sanad ini tidak ada yang di
jarh pada tingkat yang dapat melemahkan periwayatan mereka, bahkan penggunaan
sigah tahammul wal ada’ yang tergolong pada metode sama’ dan sanadnya
muttashil, maka jelas bahwa sanad hadis ini adalah shahih.[7]
F. MATAN HADIST
Adapun matan
hadist yang terkait adalah sebagai berikut:
1.
Matan hadist ini sejalan dengan ketegasan Al Qur’an dalam perintah
sholat:
Artinya:“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un: 107: 4-5)
2.
Matan hadis ini bertentangan dengan hadis riwayat Hakim dan
Baihaqi:
“Tiada suatu permberian pun yang lebih utama
dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik”
Pada
hal tertentu misalnya sholat, hadist tersebut masuk akal karena tegas katannya
dengan perintah Allah SWT dalam mendirikan sholat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kekerasan
tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa, dihilangkan dengan kekerasan, kejahatan
harus dilawan dengan kebaikan. Kekerasan terjadi dimana-mana, baik yang dilakukan
oleh anak-anak maupun orang dewasa, tak terkecuali dalam dunia pendidikan.
Pendidikan
sangatlah penting, terutama pendidikan Islam. Peran dari pendidikan itu sendiri
adalah untuk menjadikan seseorang menjadi lebih baik dalam bidang keilmuan
maupun akhlak. Tindakan kekerasan memang tidak dapat dihilangkan seratus
persen, akan tetapi pendidikan Islam tanpa kekerasan memberikan konsep dan
solusi untuk meminimalisir tindakan kekerasan.
Sebagai
seorang muslim tentu sudah sepatutnya kita memahami dan mengamalkan isi dari
al-Qur’an dan Hadis, dan senantiasa berusaha sekuat tenaga mengikuti tingkah
laku Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan Nasional, Departemen.
2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Assegaf, Abdurrahman. 2004, Pendidikan
Tanpa Kekerasan, Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta
Mahfud, Choirul. 2006, Pendidikan
Multikultural, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Saraswati, Rika. 2009, Hukum
Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) hal 550
[2] Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan
(Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta, 2004), hal 14
[3] Ibid. hal.22
[4] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural,
(Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.), hal. 108
[5] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia,
( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009) hal. 142
[6] Kajian tematis hadis tentang
bersikap, http://novanardy.blogspot.co.id/2010/01/kajian-tematis-hadis-tentang-bersikap.html, diakses pada tgl 20 Desember 2017
[7] Kekerasan Dalam Pendidikan, http://dieyahya.blogspot.co.id/2017/03/kritik-dan-syarah-hadits-kekerasan.html. diakses pada tanggal 18 Desember 2017, pukul 23:32 WIB.