Sejarah Pemikiran Islam AL Bustami

0

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Tasawuf  merupakan suatu  disiplin ilmu yang berorientasi pada moralitas berasas keislaman. Tasawuf  bertujuan untuk lebih mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya. Pembahasan  mengenai Tasawuf  dan konsep ilmunya  tidak akan lepas  dari  tokoh-tokoh  yang  ada  didalamnya dan mempengaruhi perkembangannya. Tokoh-tokoh sufi tersebut biasanya identik dengan kehidupan yang sederhana dan hanya di tujukan untuk Allah. Kehidupan sufi sendiri sudah ada sejak zaman para sahabat nabi yang mencontoh kehidupan beliau seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, para tokoh sufi tersebut memiliki pandangan dan pemahaman  yang  berbeda-beda, seperti Al-A’raby, Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali dan lain sebagainya. Dalam makalah ini saya sebagai penulis akan memaparkan kisah hidup dan pemikiran salah satu tokoh  sufi fenomenal “Abu Yazid Al-Bustami” yang sering disebut  sebagai  sufi  mistik atau  raja  para  mistikus. Beliau di kenal demikian  karena apa yang  melekat  pada dirinya tidak mampu  difikirkan  atau dinalar oleh manusia pada umumnya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kisah AbuYazid Al-Bustami?
2.      Bagaimana pemikiran Abu Yazid Al-Bustami?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui kisah AbuYazid Al-Bustami
2.      Mengetahui pemikiran Abu Yazid Al-Bustami




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia.[1]
Dahulu Abu Yazid Al-Bustami bernama Thayfur bin Isa Al-Bisthamy. Kakeknya seorang  majusi namun telah masuk islam.  Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Sedangkan yang agung budinya adalah Abu Yazid.[2]
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.[3]
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi.[4]
Abu Yazid Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang membawa paham yang berbeda dengan  ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran tasawuf yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara. Abu Yazid Al-Bustami meninggal di Bustam pada tahun 261 H/875 M.


B.     Pemikiran Tasawuf  Abu Yazid Al-Bustami
Dalam perkembangan tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami.[5] Sebagai pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa adalah :
أَعْرِفُهُ بِىْ فَفَنِيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya: “Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana’ (hancur), kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” [6]
جَنَّنِى بِى فَمُتُّ ثُمَّ جَنَّنِىْ بِهِ فَعِشْتُ فَقُلْتُ اَلْجُنُوْنُ بِىْ فَنَاءٌ وَالْجُنُوْنُ بِكَ بَقَاءٌ
Artinya: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian ia membuat aku gila padanya, dan akupun hidu, aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padamu adalah kelanjutan hidup”.[7]
a.      Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.[8] Fana’ dalam pengertian yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi yaitu:[9]
Hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya, situasi itu kemudian beralih karena hilangnya sesuatu yang dilihat itu dan hal itu berlangsung ters-menerus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-sifat terpuji, hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.[10]
Menurut al-Qusyairi fana’ yang dimaksud oleh para sufi adalah:[11]
Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya yang terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya. Dirinya dan makhluk lain masih tetap ada tapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Dari beberapa pengertian di atas tergambar bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau indrawi, sedangkan jasad manusia tetap utuh dan tidak hancur. Menurut Abu Yazid al-Bustami, fana’ berarti hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga tidak lagi merasakan kehadiran tubuh jasmaniahnya sebagai manusia, kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi bukan dalam wujud Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan beliau berikut ini :
Aku tahu Tuhanku melalui diriku hingga aku hancur kemudian dengan fana’ku itu aku tahu diri-Nya maka aku pun hidup.[12]
Dalam proses al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat kesempurnaan musyahadah.[13]




b.      Ittihad
Fana’ dan baqa’ sangat erat kaitannya dengan ittihad. Fana’ yang diikuti dengan baqa’ ibarat jembatan menuju penyatuan dengan Tuhan (ittihad). Menurut Harun Nasution, penyatuan dengan Tuhan itu terjadi langsung setelah tercapainya fana al-nafs.[14]
Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya sehingga ia baqa’. Tercapainya fana’ dan baqa’ tersebut menyebabkan ia sampai kepada ittihad, dan dalam tingkatan ini ia merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan sehingga keluarlah ucapan-ucapan yang ganjil dari mulutnya. Ucapan yang ganjil itu dikenal dengan istilah syatahat.
Adapun syatahat- syatahat yang terlontar dari mulut al-Bustami yang menggambarkan ia dalam keadaan ittihad diantaranya adalah:[15]
انى أنا الله لا اله الا انا فأعبدونى
Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku
سبحانى ما أعظم شأنى
Maha suci aku, maka besar kuasaku.
وسئل ما هو العرش ؟ فأ خاب أنا هو, وما هو الكرسى ؟ فأخاب أنا هو وما هو اللوح و القلم فأخاب أنا هو
Seseorang bertanya pada Abu Yazid apa ‘arsy itu? Dia menjawab akulah ‘arsy itu, diapun ditanya lagi apa Kursi itu? Jawabannya: akulah kursi itu, dan ditanya lagi apakah Lauh Mahfuz dan Qalam itu? Jawabannya akulah itu.
ليس في الخبة الا الله
Yang ada dalam baju ini adalah Allah[16]
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya pada saat ia berada dalam ittihad yaitu saat ia menyatu dalam diri Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bersikap toleran, hal itu dipandang hanya sebagai penyimpangan (inhiraf) namun bagi orang yang keras berpegang pada agama hal itu dipandang sebagai kekufuran.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Abu Yazid adalah seorang sufi lahir di Bistam, Persia pada tahun 804 M. dan wafat pada tahun 874 M). dan pertama kali membawa faham fana' dan baqa' dalam Islam. Fana' dan baqa' adalah kembar dua yang merupakan suatu proses yang harus dilalui seorang sufi ketika ingin bersatu dengan Tuhan.
Setelah sufi melalui prosesing fana' dan baqa' maka yang dinanti-nantikan adalah penyatuan dengan Tuhan dengan istilah trendnya adalah Ittihad, ketika seorang sufi bersatu dengan Tuhan, maka ketika itu sering-sering keluar dari mulutnya ucapan ekstatik yang aneh-aneh, dan seringkali bertentangan dengan aqidah. Namun, sebenarnya sufi tersebut hanyalah perantara dan yang "berbicara" sebenarnya adalah Tuhan"
Oleh karena itu untuk menjadikan umat Islam maju dan sejahtera, kita perlu mengkaji al-Qur'an yang merupakan warisan kesejahteraan kita sesui dengan konteks. kita jangan selalu bernostalgia dalam jubah kebesaran masa lampau yang telah tiada. Berselindung di bawah payung keagungan masa silam adalah ibarat seekor katak yang mencoba berjalan dengan kedua kaki belakangnya: tetapi sikap yang betul adalah; jadikan hari-hari kemarin sebagai cermin dan sumber inspirasi untuk menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tulen. Pikir, Zikir, dan Amal Shaleh adalah modal utama untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi.







DAFTAR PUSTAKA
Isa, Ahmadi. 2000, Tokoh-tokoh Sufi, Jakarta :PT.Raja Grafindo Persada.
An Naisabury, Abdul Qasim Al-Qusyairy. 1999, Risalatul Qusyairiy, Surabaya : Risalah Gusti.
Mustafa, Ahmad. 1997, Akhlak –Tasawuf , Bandung : CV.Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2002, Akhlak Tasawuf Ed.I, Cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Basyuni, Ibrahim. 1969. Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Al-Kurdy, Muhammad Diya’ al-Din. 1763. Nasy’ah al-Tasawwuf al-Islamy, Kairo:Dar al-Salam.
Siregar, H.A.Rifa’i. 2000. Tasawuf dari sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Cet.2, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zahri, Mustafa. 1991. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.









[1] Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi,(Jakarta :PT.Raja Grafindo Persada,2000),h.139
[2] Abdul Qasim Al-Qusyairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiy, (Surabaya : Risalah Gusti,1999),h.493
[3]Syekhu,Abu Yazid Al-Bustami dengan Konsep Tasawufnya (Online), (http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/abu-yazid-al-bustami-dengan-konsep-tasawufnya/. Diakses tanggal 17 Desember 2017).
[4] Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi,(Jakarta :PT.Raja Grafindo Persada,2000),h.139
[5] Ahmad Mustafa, Akhlak –Tasawuf ,( Bandung : CV.Pustaka Setia,1997),h.261
[6] Ibid, h. 261
[7] Ibid, h. 261-262
[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Ed.I, Cet.4; Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002), h. 231.
[9] Ibrahim Basyuni, Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy (Kairo: Dar al-Ma’arif,1969), h. 138.
[10] Muhammad Diya’ al-Din al-Kurdy, Nasy’ah al-Tasawwuf al-Islamy, (Kairo:Dar al-Salam, 1763), h. 77
[11] H.A.Rifa’i Siregar, Tasawuf dari sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet.2;Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), h. 147.
[12] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), h. 236
[13] H.A.Rifa’i Siregar, Tasawuf dari sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet.2;Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), h. 148
[14] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, (Cet. 4 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 79
[15] Muhammad Diya’ al-Din al-Kurdy, Nasy’ah al-Tasawwuf al-Islamy, (Kairo:Dar al-Salam, 1763), h. 89
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, (Cet. 4 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 86

Author Image

About wayan
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment